Network
KILASCIMAHI - Akhir mei lalu, masyarakat adat perwakilan suku Moi dan suku Awyu melakukan doa dan ritual di depan Mahkamah Agung Jakarta. Mereka rela, berjalan berjam-jam, tanpa banyak perbekalan demi menyuarakan isi hatinya untuk mempertahankan hutan adat di Papua agar batal dijadikan kebun sawit. Sontak hal ini, menjadikan netizen simpati, hingga ramai postingan All Eyes on Papua di media sosial.
Aksi All Eyes on Papua ini, memiliki tujuan yang sama dengan All Eyes on Rafah, yang juga sempat trending beberapa waktu lalu, yakni untuk membela hak mereka yang terzolimi.
Kenapa akhirnya postingan All Eyes on Papua ini sangat ramai? Sebesar apa dampak dari pembukaan lahan sawit ini? Berikut kami ulas.
Baca Juga: RUU KIA Disahkan DPR RI, Menteri PPPA Sebut Sebagai Upaya Menyambut Indonesia Emas 2045
Pembukaan lahan sawit ini membutuhkan puluhan ribu hektar, di mana jika dibangun lahan sawit tentu saja akan menyumbang emisi Karbon dioksida (CO2) yang sangat besar dan dampaknya tidak hanya akan dirasakan bagi masyarakat Papua saja, melainkan masyarakat dunia juga.
Menilik berbagai sumber, vidio dan berita yang tengah ramai, perwakilan masyarakat adat Papua sudah datang unjuk rasa di depan mahkamah agung. Maka, netizen Indonesia yang selalu gercep bersuara di media sosial, semakin gencar dengan postingan All Eyes on Papua.
Menyadur dari unggahan poster yang lain bahwa hutan di Papua. Tepatnya di Boven Digul Papua seluas 36 ribu hektar atau separuh luas Jakarta akan dibabat habis dan dibangun perkebunan sawit.
Hal ini memunculkan kekhawatiran mulai dari hilangnya hutan alam dan boleh jadi menghasilkan emisi 25 juta ton CO2.
Melansir dari situs Greenpeace suku Moi adalah suku yang bisa ditemukan di sebagian daerah distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.
Kemudian masyarakat Suku Awyu tinggal di dekat Sungai Bamgi, Sungai Edera, Sungai Kia, Sungai Mappi, Sungai Pesue dan Asue, Sungai Digoel, dan lahan gambut serta rawa.
