Gempa Turki dan Kenangan di Gaziantep, Catatan Seorang Jurnalis

7 Februari 2023, 17:03 WIB
Suasana Kota Kilis, Provinsi Gaziantep, jauh sebelum gempa di Turki terjadi. Kota ini berbatasan langsung dengan Suriah /Riffa Anggadhitya/

KILASCIMAHI - Gempa dahsyat dengan magnitudo 7,8 berpusat di Provinsi Gaziantep mengguncang Turki pada Senin 6 Februari 2023 dini hari waktu setempat.

Akibat gempa yang disebut terbesar melanda Turki ini, ratusan hingga ribuan gedung dan rumah rubuh dan luluh lantak di berbagai wilayah, termasuk di Gaziantep.

Korban akibat gempa di Gaziantep yang merupakan perbatasan Turki-Suriah ini telah menelan korban tewas hingga 1.500 orang.

Diperkirakan, total korban tewas akibat gempa terdahsyat yang pernah terjadi di Turki ini bisa mencapai puluhan ribu orang karena masih banyak warga yang diperkirakan tertimbun reruntuhan.

Menginjakkan Kaki di Gaziantep, Turki

 

Mendarat di Bandara Gaziantep

Melihat berbagai tayangan video dan foto yang berseliweran di media sosial mengenai kondisi Gaziantep pasca gempa mengingatkan perjalanan saya pada awal Desember 2017 lalu.

Baca Juga: Ternyata Gempa Turki Telah Diprediksi 3 Hari Sebelumnya Oleh Seorang Peneliti

Saat itu, saya diminta untuk melakukan reportase di salah satu kota di Provinsi Kilis, Turki selatan. 

Perjalanan melalui pesawat ditempuh selama kurang lebih 2 jam dari Istanbul menuju bandara Gaziantep.

 

Bulan Desember merupakan permulaan musim dingin di Turki. Suhu saat itu mencapai 4 derajat Celcius.

Dingin yang menusuk tulang itu yang saya rasakan bersama rekan-rekan dari Yayasan Harapan Amal Mulia dan Kasih Palestina saat menjejakkan kaki di Gaziantep

Saat itu, saya akan melakukan reportase mengenai kondisi pengungsi Palestina yang berada di salah satu kota di Provinsi Kilis. Untuk menuju ke sana, membutuhkan waktu perjalanan lebih dari satu jam dari Bandara Gaziantep.

Baca Juga: Tradisi Lebaran di Turki, Warisan Kekhalifahan Utsmaniyyah, Dari Festival Manisan Hingga Cium Tangan

Kilis merupakan 'rumah' bagi para pengungsi Palestina dan Suriah. Jumlahnya puluhan hingga ratusan ribu orang. Sebagian pengungsi merupakan warga asal Palestina yang mengungsi saat Israel mencaplok tanah leluhur mereka pada 1967 lalu.

Sebagian lagi merupakan pengungsi Palestina yang berasal dari pengungsian di Suriah.

Mereka mengungsi ke Turki lantaran saat itu,Suriah tengah dilanda perang besar dengan ISIS.

Dari Kota di Provinsi Kilis ini, saya bisa melihat dengan jelas dari kejauhan berkibar bendera Turki dengan ukuran raksasa berkibar.

Menurut orang Turki yang mendampingi kami, bendera itu merupakan penanda perbatasan dengan Suriah. Jarak dari titik saya berdiri ke arah bendera itu mungkin sekitar 5-10 kilometer. 

Selain bendera, hamparan perbukitan yang tandus menjadi pemandangan di perbatasan Turki - Suriah ini

Tapi beranjak ke kota, penampilannya jauh berbeda. Semuanya begitu tertata.

Jalanan aspal yang mulus. Seingat saya, selama berada di Kilis, tak pernah sekalipun bus yang kami tumpangi menerjang lubang di jalan raya.

Pedestrianya pun begitu rapi. Meski tak selebar trotoar di Istanbul, tapi banyak warga yang terlihat berjalan di jalur pedestrian yang bersih tanpa sampah itu.

Hampir di sepanjang jalan berdiri gedung-gedung tinggi. Memang bukan gedung pencakar langit, tapi bangunan di wilayah kota itu didominasi oleh gedung-gedung tersebut.

Baca Juga: Politisi Swedia Bakar Al Quran, Ratusan Warga Turki Bakar Bendera Swedia

Tingginya berkisar 3 - 10 lantai. Gedung-gedung itu merupakan tempat tinggal seperti apartemen. Sebagian pengungsi Palestina itu tinggal di gedung-gedung tersebut.

Tapi,jangan bayangkan hunian mereka layaknya apartemen yang kita ketahui.

Para pengungsi itu tinggal disana layaknya rumah kontrakan bedeng kalau di Indonesia. Sebuah kamar yang memanjang. Untuk memisahkan antara ruang tamu dan kamar, sehelai kain dipasang seperti gorden.

 

Meskipun berstatus pengungsi, mereka menyewa kamar di sana yang mereka isi bersama keluarganya.

Untuk bisa membayar biaya sewa, saya lupa berapa persis harganya, tapi sekitar 1-2 jutaan kalau dirupiahkan. Kamar dengan harga segitu, kebanyakan belum memiliki pemanas ruangan.

Kalaupun ada, kadang tak ada arang untuk bisa dibakar dipemanas ruangan itu lantaran uang yang mereka miliki berebut dengan biaya hidup sehari-hari dan sewa ruangan.

Dan meski berstatus pengungsi, para pengungsi ini tidak hidup bergantung pada bantuan.

Mereka bekerja serabutan mulai dari menjadi tukang hingga mengumpulkan rongsok dan barang bekas.

Adanya bantuan alat pemanas ruangan, arang dan pakaian hangat dari masyarakat Indonesia yang dititipkan melalui Yayasan Harapan Amal Mulia dan Kasih Palestina tentu saja membuat mereka bahagia.

Mewawancarai Pengungsi Palestina

 

Bersama Ahmad, dan dua anak perempuannya di lokasi pengungsian di Kilis, Turki

Seperti yang diungkapkan Ahmad, salah seorang pengungsi yang saya temui di sana.

Ahmad merupakan pengungsi asal Palestina yang sejak kecil sudah tinggal di Gaziantep. Ayahnya yang membawa ia dan ibunya mengungsi ke Turki saat perang Arab Israel berlangsung pada 1969 lalu.

Saat itu, Ahmad masih kecil. Kini Ahmad telah memiliki keluarga sendiri. Iya memiliki dua anak perempuan yang lucu dan cantik.

Untuk menghidupi keluarganya, Ahmad mengumpulkan rongsok dengan berkeliling di Kota Kilis.

Ia sangat berterimakasih atas perhatian masyarakat Indonesia yang memberinya alat pemanas ruangan yang sudah sejak lama ia idam-idamkan.

Sebelum memiliki pemanas, Ahmad menceritakan bahwa ia terpaksa memakaikan baju hangat yang sangat tebal untuk anak-anaknya yang masih kecil.

Baca Juga: Kisah Nyata Anak-anak TK di Palestina Ketika Ditanya Tentang Ini! Berikut diceritakan Ustadz Adi Hidayat!

Meski sudah tinggal selama puluhan tahun di Gaziantep,Turki, Ahmad masih memiliki cita-cita yang ingin ia wujudkan.

''Saya ingin kembali ke Palestina. Kalau saya meninggal, anak-anak saya yang akan meneruskan cita-cita ini'' ungkap Ahmad.

Semoga, Ahmad dan para pengungsi Palestina di Kilis maupun Gaziantep selamat dari bencana gempa dahsyat yang melanda Turki kemarin.

Supaya mereka bisa mewujudkan cita-cita untuk kembali ke tanah Palestina.

Editor: Riffa Anggadhitya

Tags

Terkini

Terpopuler