Kemudian penjelasannya masih berlanjut, seperti yang dibahas di bawah ini.
Namun, jika tanpa uzur syar’i, ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat:
Pertama, pendapat jumhur, yaitu Imam Malik, Tsauri, Syafi’i, Ahmad, dan lain-lain berpendapat orang tersebut di samping tetap wajib mengqada, dia wajib juga membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari dia tidak berpuasa (Yusuf Qaradhawi, Taisir Al-Fiqh fi Dhau’ Al-Qur`an wa As Sunnah : Fiqhush Shiyam, Beirut : Mu`assah Ar Risalah, 1993, Cetakan ke-3, hlm. 75).
Baca Juga: Doa Memohon Kebaikan di Bulan Suci Ramadhan yang Dianjurkan Ustadz Adi Hidayat
Pendapat pertama ini terbagi lagi menjadi dua:
(1) menurut ulama Syafi’iyah, fidyah tersebut berulang dengan berulangnya Ramadan;
(2) menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, fidyah hanya sekali, yakni tidak berulang dengan berulangnya Ramadan (Wahbah Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/680).
Dalil pendapat pertama ini, adalah pendapat sejumlah sahabat, seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah, yang mewajibkan qada dan fidyah (Imam Syaukani, Nailul Authar, Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000, hlm. 872; Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hlm. 210).
Imam Syaukani menjelaskan dalil bagi pendapat pertama ini, yaitu hadis dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. tentang seorang laki-laki yang sakit pada bulan Ramadhan lalu dia tidak berpuasa, kemudian dia sehat, tetapi tidak mengqada hingga datang Ramadhan berikutnya. Nabi SAW. bersabda,
يصُومُ الَّذِي أَدْرَكَهُ ، ثُمَّ يَصُومُ الشَّهْرَ الَّذِي أَفْطَرَ فِيهِ ، وَيُطْعِمُ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا