Hukum Membayar Fidyah Bagi Orang yang Belum Mengqada Puasa di Ramadhan Sebelumnya

- 20 Maret 2023, 23:05 WIB
Melaksanakan Fidyah
Melaksanakan Fidyah /Innekeu Putri Pinansia /Kilas Cimahi

KILASCIMAHI - Bulan Suci Ramadhan 1444 hijriah akan tiba beberapa hari lagi, untuk itu bagi anda kaum muslimin dimanapun berada haruslah segera menyiapkan segala hal untuk menyambut bulan suci Ramadhan.

Salah satu diantara banyak hal yang harus dipersiapkan adalah terbebas dari Qada' puasa Ramadhan sebelumnya.

Lantas, bagaimana hukumnya jika anda belum melakukan Qada' puasa Ramadhan sebelumnya dan kaitannya dengan membayar fidyah?

Agar tidak salah pemahaman, berikut kilascimahi.com sajikan ulasan terkait hukum membayar fidyah jika belum Mengqada puasa di Ramadhan sebelumnya yang dilansir dari akun Facebook Guru Muslimah Inspiratif.

Baca Juga: Persiapan yang Harus Dilakukan Menjelang Bulan Suci Ramadhan 1444 Hijriah

Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai hukum membayar fidyah bagi orang yang belum mengqada puasa di Ramadhan sebelumnya.

Seperti yang dijelaskan oleh K.H. M. Shiddiq al-Jawi, mengenai hukum fidyah ini, sang Kiai menggunakan dalil-dalil yang kuat dalam memberikan penjelasan.

"Barang siapa yang belum mengqada puasa Ramadhan yang lalu, kemudian sudah datang lagi Ramadan berikutnya, maka dilihat dulu alasan penundaan (ta`khiir) qada tersebut. Jika ada uzur (alasan syar’i), seperti sakit, nifas, dsb., tidak mengapa," tuturnya.

Kemudian penjelasannya masih berlanjut, seperti yang dibahas di bawah ini.

Namun, jika tanpa uzur syar’i, ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat:

Pertama, pendapat jumhur, yaitu Imam Malik, Tsauri, Syafi’i, Ahmad, dan lain-lain berpendapat orang tersebut di samping tetap wajib mengqada, dia wajib juga membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari dia tidak berpuasa (Yusuf Qaradhawi, Taisir Al-Fiqh fi Dhau’ Al-Qur`an wa As Sunnah : Fiqhush Shiyam, Beirut : Mu`assah Ar Risalah, 1993, Cetakan ke-3, hlm. 75).

Baca Juga: Doa Memohon Kebaikan di Bulan Suci Ramadhan yang Dianjurkan Ustadz Adi Hidayat

Pendapat pertama ini terbagi lagi menjadi dua:

(1) menurut ulama Syafi’iyah, fidyah tersebut berulang dengan berulangnya Ramadan;

(2) menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, fidyah hanya sekali, yakni tidak berulang dengan berulangnya Ramadan (Wahbah Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/680).

Dalil pendapat pertama ini, adalah pendapat sejumlah sahabat, seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah, yang mewajibkan qada dan fidyah (Imam Syaukani, Nailul Authar, Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000, hlm. 872; Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hlm. 210).

Imam Syaukani menjelaskan dalil bagi pendapat pertama ini, yaitu hadis dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. tentang seorang laki-laki yang sakit pada bulan Ramadhan lalu dia tidak berpuasa, kemudian dia sehat, tetapi tidak mengqada hingga datang Ramadhan berikutnya. Nabi SAW. bersabda,

يصُومُ الَّذِي أَدْرَكَهُ ، ثُمَّ يَصُومُ الشَّهْرَ الَّذِي أَفْطَرَ فِيهِ ، وَيُطْعِمُ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

Baca Juga: Bacaan Doa Menyambut Bulan Suci Ramadhan yang Dianjurkan Ustadz Adi Hidayat Beserta Terjemahannya

“Dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang menyusulnya itu, kemudian dia berpuasa untuk bulan Ramadan yang dia berbuka padanya, dan dia memberi makan seorang miskin untuk setiap hari [dia tidak berpuasa].” (HR Daraquthni, II/197). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 871).

Kedua, pendapat Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, Imam Ibrahim An-Nakha`i, Imam Hasan Bashri, Imam Muzani (murid Syafi’i), dan Imam Dawud bin Ali. Mereka mengatakan bahwa orang yang menunda qada hingga datang Ramadan berikutnya, tidak ada kewajiban atasnya selain qada. Tidak ada kewajiban membayar kafarat (fidyah) atasnya. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/240; Wahbah Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/240; Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam Ash Shiyam, hlm. 210).

Dalil pendapat kedua ini adalah kemutlakan nas Al-Qur’an yang berbunyi (فعدة من أيام أخر) “fa-‘iddatun min ayyamin ukhar” yang berarti “maka jika dia tidak berpuasa, wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah [2] : 183). (Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/240).

Pendapat yang rajih (lebih kuat) adalah pendapat kedua, yang menyatakan bahwa orang yang menunda qada hingga masuk Ramadhan berikutnya, hanya berkewajiban qada, tidak wajib membayar fidyah. Hal itu dikarenakan dalil hadis Abu Hurairah ra. di atas merupakan hadis daif (lemah) yang tidak layak menjadi hujah (dalil).

Imam Syaukani berkata,

وَقَدْ بَيَّنَّا أَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ فِي ذَلِكَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْءٌ

“…telah kami jelaskan bahwa tidak terbukti dalam masalah itu satu pun [hadis sahih] dari Nabi saw..”(Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 872).

Baca Juga: Resep Es Kuwut Bali, Cocok Untuk Jadi Menu Andalan Pelepas Dahaga di Bulan Puasa

Syekh Yusuf Qaradhawi meriwayatkan tarjih serupa dari Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya Ar-Raudatun An-Nadiyah (I/232).

Kata Syekh Yusuf Qaradhawi,

وَرَجَّحَهُ صَاحِبُ (الروضة النادية )، لِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ فِي ذَلكَ شَيْءٌ ، صَحَّ رَفْعه إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Penulis kitab Ar-Raudatun An-Nadiyah telah merajihkan (menguatkan) pendapat tersebut [pendapat tak adanya fidyah], karena tidak terbukti dalam masalah itu sesuatu pun [hadis sahih] dari Nabi saw., yang secara sah marfuk kepada Nabi saw..” (Yusuf Al-Qaradhawi, Taisir Al-Fiqh fi Dhau’ Al-Qur`an wa As-Sunnah: Fiqhush Shiyam, Beirut : Mu`assah Ar Risalah, 1993, Cetakan ke-3, hlm. 75).

Adapun pendapat sahabat yang mewajibkan qada dan fidyah, bukanlah hujah (dalil syar’i) yang layak menjadi sumber hukum Islam.

Imam Syaukani berkata dalam kitabnya Nailul Authar (hlm. 872):

لِأَنَّ قَوْلَ الصَّحَابَةِ لَا حُجَّةَ فِيهِ

“Karena pendapat para sahabat tidak terdapat hujah padanya.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 872).

Dalam kitabnya Irsyadul Fuhul, Imam Syaukani berkata,

وَالْحَقُّ أَنَّهُ (أي قَوْل الصحابي) لَيْسَ بِحُجَّةٍ

“Pendapat yang benar, bahwa qaul ash shahabi (pendapat shahabat) bukanlah hujah [dalil syar’i].” (Imam Syaukani, Irsyadul Fuhul, hlm. 243).

Imam Taqiyuddin An-Nabhani menegaskan,

أَنَّ مَذْهَبَ الصَّحَابِيِّ لَيْسَ مِنْ الْأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّة

* sesungguhnya mazhab sahabat tidak termasuk dalil syar’i.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, III/411).

Demikian ulasan dari kilascimahi.com, semoga bermanfaat.***

Editor: Baiq Aprilia Intan Sinara H.


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x