KILASCIMAHI - Meskipun di ambang kebangkrutan, Tupperware menjadi Top Of Mind Awareness (TOMA) di kalangan wanita di dunia, mengapa demikian? Top of mind adalah posisi yang sangat diincar oleh banyak brand. Saat sebuah brand menjadi top of mind, maka brand tersebut berpotensi melakukan penjualan lebih banyak.
Saat konsumen membeli sebuah barang, mereka cenderung menyebutkan nama brand ketimbang jenis barangnya. Nah, inilah yang dialami Tupperware.
Pada saat konsumen dalam hal ini, ibu-ibu membeli wadah makanan yang bukan Tupperware atau dari pesaing lain namun mereka menyebutkan adalah Tupperware.
Inilah yang disebut sebagai top of mind. Banyak kasus lain misalnya seperti produk mi instan seperti Indomie, orang Indonesia telah menganggap dalam pikiran mereka jika mie instan itu Indomie.
Merk-merk atau brand tersebut telah melekat di dalam pikiran para konsumen secara psikologis. Ini menandakan keberhasilan sebuah brand awareness dari sebuah produk. Apapun jenis barangnya dalam kategori yang sama mereka lebih mengingat nama brand tersebut.
Pengertian dan Definisi Top of Mind
Top of Mind adalah istilah dalam dunia bisnis yang mengacu pada teringatnya sebuah nama merk atau brand dalam kategori produk tertentu. Makin kuat sebuah brand di pikiran konsumen maka semakin besar kemungkinan itu muncul pertama kali di benak pelanggan.
Top of Mind juga bisa dianggap sebagai sebuah strategi branding yang sangat berhasil karena telah menciptakan kesan brand yang kuat di pikiran konsumen. Strategi ini tak menggunakan diskon yang membuat ketertarikan pelanggan bertahan dalam waktu yang sebentar.
Secara psikologis, top of mind akan membuat konsumen memilih produk di antara banyaknya pilihan tanpa adanya iming-iming diskon. Top of mind adalah brand atau produk maupun layanan yang pertama kali muncul di pikiran konsumen.
Mengapa Top of Mind Ini Penting?
Dari contoh kasus pada awal tadi, Anda bisa melihat jika top of mind membuat sebuah barang selalu diingat secara tidak langsung oleh konsumen dan otomatis menjadi prioritas dalam berbagai macam kategori produk yang ada.
Coba menelisik beberapa tahun silam, wadah Tupperware ini tidak asing bagi banyak orang, terutama ibu-ibu, yang kerap mengandalkan Tupperware baik untuk menyimpan makanan atau menjadi agen penjual wadah itu sebagai usaha sampingan.
Merk Tupperware nampaknya telah menyatu dengan para perempuan di seluruh dunia selama beberapa dekade.
Sangat disayangkan ketika Tupperware kebanggaan ibu-ibu ini harus bangkrut, namun begitu, apa pun yang terjadi dengan merek tersebut, nama Tupperware tidak akan pernah hilang.
Itu karena banyak konsumen akan terus menyebut wadah makanan resealable sebagai Tupperware, meskipun wadah tersebut bukan Tupperware. Dan itu mungkin menjadi bagian dari masalah Tupperware.
Perusahaan Tupperware telah mengajukan perlindungan pailit pada beberapa hari lalu, setelah mencatatkan penjualan yang merosot dan utang yang meningkat. Tupperware runtuh karena tidak mampu bersaing dengan kompetitornya.
Laurie Kahn, seorang pembuat film yang dokumenternya tahun 2004, "Tupperware!," yang memenangkan Penghargaan Peabody, mengatakan kepada Wall Street Journal bahwa dia tidak terlalu terkejut ketika mendengar berita itu minggu ini.
"Saya tahu itu mungkin akan terjadi karena masalah mereka baru-baru ini," katanya.
"Tapi itu menyedihkan."
Dokumenternya menelusuri asal-usul Tupperware, hingga ke pertengahan tahun 1940-an, saat Earl Silas Tupper mendapatkan beberapa pelet polietilena, plastik masa perang yang menurut perusahaan kimia DuPont tidak dapat dicetak, dan menciptakan wadah kedap udara yang dapat mengawetkan makanan lebih efektif daripada yang di pasaran.
Namun, terobosan perusahaan tersebut terletak pada cara wadah tersebut dipasarkan, yaitu oleh seorang wanita bernama Brownie Wise, yang meluncurkan konsep "pesta Tupperware." Dalam pesta tersebut, produk-produk Tupperware dijual oleh ibu rumah tangga dan ibu tunggal serta perempuan lain yang hanya ingin bekerja di luar rumah di era pascaperang.
"[Tupperware] memberdayakan seluruh generasi wanita kelas pekerja," kata Kahn.
Kahn menjelaskan, tak lama setelah Tupper meninggal pada tahun 1983, hak paten atas segel wadahnya berakhir, dan sejumlah perusahaan bermunculan untuk meniru idenya.
Hak paten dirancang untuk bertahan cukup lama, agar perusahaan pemilik hak itu punya cukup waktu untuk membangun merek mereka dan mendapatkan kembali investasi apa pun yang telah mereka investasikan untuk penelitian dan pengembangan. Selama beberapa dekade, hal itu tentu saja berlaku untuk Tupperware, yang merupakan nama yang hanya mewakili satu merek dan satu merek saja.
Tiba-tiba Tupperware memiliki banyak peniru dan produk pesaing yang sebagian besar tidak dapat dibedakan dari produknya sendiri. Tupperware telah digenerik, dan Rexall, perusahaan kimia yang telah membeli merek tersebut beberapa dekade sebelumnya, lambat dalam mendiversifikasi lini produknya.
Menurut Taylor, perusahaan yang sukses memiliki strategi untuk melindungi merek dagang mereka dan menangkal meluasnya generikisasi. Banyak perusahaan, misalnya, menghindari penggunaan nama merek sebagai kata benda, dan memilih untuk menggunakannya sebagai kata sifat dalam materi pemasaran mereka. Misalnya, tisu wajah Kleenex, kemudian Taylor juga menyebut Crayola Crayons.
"Mereka sangat berhati-hati untuk tidak menyebutnya sebagai Crayola," katanya.
Dan karena berbagai alasan yang masuk ke dalam masalah hukum, perusahaan seperti Google dan Kimberly-Clark, yang memiliki Kleenex, telah berjuang (kebanyakan tidak berhasil) untuk mencegah merek mereka dimasukkan dalam kamus.
Namun, Tupperware adalah bagian dari leksikon budaya, meski dalam kebangkrutan, dan warisannya akan tetap ada setiap kali seseorang membuka wadah makanan resealable.***