Pasal 218 RKUHP Potret Buram Demokrasi Indonesia

- 3 Desember 2022, 19:04 WIB
aksi penolakan RKUHP, potret buram demokrasi Indonesia
aksi penolakan RKUHP, potret buram demokrasi Indonesia /kabar-priangan.com/Erwin RW/
KILAS CIMAHI-Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) begitu banyak polemik di masyarakat.
 
Banyak pro dan kontra yang timbul terkait RKUHP yang akan disahkan sekarang ini.
 
Salah satu gerakan organisasi kepemudaan (OKP) di daerah juga turut banyak yang mengambil sikap terkait RKUHP yang kabarnya akan diketuk palu pada 15 Desember 2022.
 
Salah satu OKP Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dari Universitas Bengkulu ikut menanggapi polemik RKUHP melalui tulisan opini di bawah.
 
 
Pemerintah Indonesia bersama Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia telah menyetujui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada tingkat I, RKUHP akan disahkan pada sidang paripurna akhir Desember mendatang. 
 
Sejumlah pasal kontroversial RKUHP masih belum dihapuskan salah satunya pasal 218 ayat (1) yang menyatakan Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
 
Menyoroti hal tersebut Ketua Umum Komisariat Universitas Bengkulu Aditya Andela Pratama menyatakan opini sebagaimana diterangkannya di bawah ini.
 
 
"Bahwa pasal tersebut jika disahkan akan berdampak pada demokrasi Indonesia yang mana akan mengecam kebebasan berpendapat dan kekuasaan presiden menjadi tidak tak terbatas."
 
Aditya melanjutkan, "hal ini tentu akan kembali pada zaman otoriter seperti halnya tahun 1998 di mana presiden Soeharto anti kritik. Jika kita baca kembali pemaknaan filosofi demokrasi adalah memberikan ruang kesetaraan bagi setiap orang untuk mengungkapkan pikiran dan hati nuraninya," tutup Aditya Andela Pratama, Ketua Umum Komisariat Universitas Bengkulu.
 
KAMMI Komisariat Universitas Bengkulu dengan tegas menyatakan bahwa pasal 218 tentang penghinaan presiden tersebut harus dikaji kembali.
 
Hal tersebut karena bertentangan dengan cita demokrasi dan UUD 1945 pasal 28i ayat (1) yang berbunyi;
 
"Bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun".
 
Kammi Komsat UNIB Kota Bengkulu, menyarankan pemerintah dan DPR RI kembali meneliti dan membaca kembali konsekuensi logis apabila pasal tersebut disahkan serta membuka forum seluas-luasnya.***
 
 
Sumber : Penulis Opini, Aditya Andela Pratama.
 

Editor: Baiq Aprilia Intan Sinara H.


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x